Categories
Renungan

Renungan Warta – 27 Februari 2022


 

Rabu Abu

 


Hari Rabu Abu, yang tahun ini jatuh pada tanggal 2 Maret, merupakan hari pertama dari masa pra-Paskah. Di berbagai negara, ada banyak tradisi yang berbeda untuk menyambut masa puasa Paskah ini. Beberapa negara sekuler bahkan mengadakan carnival yang merupakan masa “hura-hura” sebelum memasuki masa puasa, itulah sebabnya salah satu festival paling terkenal dinamakan Mardi Grass (terjemahan: Selasa Gemuk) dimana orang memuaskan diri makan sekenyang-kenyangnya sebelum memasuki puasa pada hari Rabu Abu. Di Brazil dan Prancis, hari-hari sebelum Rabu Abu dirayakan dengan parade-parade Karnaval yang super mewah dan meriah. Namun adaptasi sekuler tidak selalu hadir dalam wujud pesta-pora. Di Republik Irlandia misalnya, Rabu Abu juga diperingati sebagai Hari Nasional Tanpa Merokok. Namun demikian berbagai perayaan itu bukanlah perayaan-perayaan gerejawi, melainkan sekedar adaptasi sekuler terhadap pesta keagamaan dalam masyarakat.

Apakah Rabu Abu merupakan perayaan umat Katolik? Pernyataan ini kurang tepat, karena ibadah Rabu Abu sudah berlangsung sejak jaman gereja mula-mula (sebelum ada perpecahan dari Gereja Katolik menjadi Gereja Reformasi/Protestan), sehingga Rabu Abu merupakan perayaan bersama gereja-gereja ekumenis. Ibadah Rabu Abu idealnya dilaksanakan pada rabu pagi, karena merupakan pembuka masa puasa pra-Paskah. Namun karena alasan teknis-praktis, seringkali baru dapat dilaksanakan pada sore hari menyesuaikan dengan kondisi masyarakat pekerja yang umumnya tidak libur pada pagi hari rabu abu. Dalam ibadah Rabu Abu, jemaat menorehkan abu pada diri mereka sebagai lambang penyesalan dosa. Abu dapat ditorehkan di dahi atau di tangan dengan membuat bentuk salib Kristus. Abu tersebut dibuat dari daun palma kering yang telah disimpan sejak ibadah Minggu Palma pada tahun sebelumnya.

Sejak jaman Perjanjian Lama, abu (dan debu) digunakan sebagai simbol kasat mata untuk menunjukkan penyesalan dan komitmen pertobatan seseorang. Dan penggunaan abu sebagai simbol terus berlanjut sampai jaman Perjanjian Baru. (Perlu dicatat bahwa walaupun secara bahasa, kata abu (ash) dan debu (dust) adalah dua hal yang berbeda, namun dalam bahasa liturgis ibadah keduanya dianggap sebagai suatu hal yang sama: partikel kecil, yang tidak berarti apa-apa.

Mengapa Puasa atau Pantang? Dalam masa 40 hari sejak Rabu Abu sampai Sabtu Sunyi (tanpa menghitung hari Minggu, karena setiap hari Minggu merupakan perayaan Paskah bagi jemaat sehingga tidak dilakukan puasa). Puasa ini dijalani sebagai penghayatan terhadap teladan Tuhan Yesus yang berpuasa selama 40 hari sebelum Ia dibaptis dan memulai karya pelayanan-Nya. Angka 40 sendiri dalam Alkitab memiliki makna simbolik, sebuah proses perjalanan pembentukan diri, seperti umat Israel yang selama 40 tahun mengembara di padang gurun sebelum memasuki tanah perjanjian.

Gereja-gereja Kristen sejak lama telah memiliki tradisi berpuasa (menahan diri dari makanan dan minuman) dan berpantang (menahan diri dari suatu kegemaran) untuk periode waktu tertentu. Namun di dalam tradisi Kristen, tidak ada patokan yang baku yang berlaku universal mengenai periode dan bentuk pantangan bagi jemaat. Intinya adalah pada kesadaran dan komitmen diri untuk menahan diri secara konsisten melalui satu periode tertentu.

GKI Perth mengundang umat dalam masa pra-Paskah ini untuk menghayati masa berpuasa dan berpantang dengan cara sederhana: Menetapkan tindakan berpuasa atau berpantang sesuai komitmen pribadi masing-masing. Juga secara khusus GKI Perth mengajak jemaat untuk bisa menyisihkan uang yang biasa digunakan untuk makan atau kopi dalam masa puasa, untuk menjadi Aksi Puasa Paskah untuk mendukung pelayanan West Timor Team, yang memberi beasiswa dan dukungan pembinaan bagi masyarakat di Nusa Tenggara Timur (NTT) melalui Universitas Kristen Arta Wacana.

Selamat berpuasa dan berpantang!