Kategori
Renungan

Belajar Mendengar


“Lihat, Aku berdiri di muka pintu dan mengetok; jikalau ada orang yang mendengar suara-Ku dan membukakan pintu, Aku akan masuk mendapatkannya dan Aku makan bersama-sama dengan dia, dan ia bersama-sama dengan Aku.”

Wahyu 3: 20


“Aduh, pak! Anak saya itu susah sekali dikasih-tahu. Apapun yang saya sampaikan tidak mau didengar. Biarpun berulang-ulang kali ditegur, tetapi seperti percuma!” … Barangkali keluhan orang-tua seperti itu, sering juga kita alami. Kita merasa orang-lain sulit “mendengarkan” apa yang kita mau/harapkan dari mereka.

Namun demikian juga sebenarnya sikap kita kepada Bapa di Sorga. Kita kerap menjadi seperti anak yang tidak mau dengar apa yang Tuhan hendak sampaikan kepada kita. Tuhan Allah seperti orang-tua yang senantiasa hadir dalam kehidupan kita: Ia “berdiri di muka pintu, dan mengetok”. Tetapi seringnya, kita tidak menyadari kehadiran dan suara ketukan-Nya. Mengapa?

1. Pengalih Perhatian (distractions)

Seperti anak kecil yang asyik dengan permainan di gadgetnya, mata terfokus pada layar, sementara telinga dipenuhi suara-suara yang keluar dari headphones. Dalam keadaan seperti ini, sangatlah sulit untuk mendengar suara-suara yang memanggil kita. Demikian juga banyak kesibukan, hobby, ambisi, dan lain sebagainya, dapat menjadi pengalih perhatian yang membuat kita tidak mendengar suara Tuhan mengetuk pintu hati kita.

Siapkanlah selalu saat teduh, hati yang tenang untuk dapat mendengar apa yang Tuhan sedang sampaikan bagi kehidupan anda saat ini.

2. Ego/Arogansi

Ketika orang merasa “serba tahu”, maka ia tidak akan mau “dikasih tahu”. Kadang-kadang jam terbang, pengalaman, kepakaran, gelar pendidikan dan berbagai hal sejenis dapat menjadi penghambat kita untuk mau mendengar masukan-masukan yang ditujukan kepada kita. Demikian pula dengan mendengar suara Tuhan dalam kehidupan ini, kita butuh untuk mengalahkan ego, meredam arogasi, dan bersedia terlebih dahulu untuk merendahkan diri … agar hati kita lebih menjadi peka terhadap ketukan-Nya

3. Emosi

Emosi selalu membawa kegaduhan dalam kepala dan hati manusia. Itulah sebabnya emosi haruslah selalu dalam keadaan terkontrol, karena ketika ia berlebihan dan lewat batas, maka yang terjadi adalah kegaduhan. Amarah, tangisan, kesedihan, kedukaan, adalah contoh ekspresi-ekspresi emosional yang wajar dalam hidup manusia. Namun kita juga dapat melihat bagaimana kemarahan yang berlebihan, kedukaan yang berlarut-larut, kesedihan berkepanjangan, dapat membawa dampak destruktif dalam kehidupan. Itulah sebabnya, kita harus selalu mampu mengendalikan emosi kita. Ketika kita mampu “lower down the volume”/ meredakan volume suara emosi kita, maka barulah kita dapat mendengar lebih jelas apa yang sedang Tuhan sampaikan kepada kita.

Marilah kita belajar mendengar dan menyadari ketukan Tuhan pada pintu hati kehidupan kita.