Categories
Renungan

Renungan Warta – 18 Juli 2021


 

Menyikapi Sakit Hati

“Ketika anggota-anggota Mahkamah Agama itu mendengar semuanya itu, sangat tertusuk hati mereka. Maka mereka menyambutnya dengan gertakan gigi.”

(Kisah Para Rasul 7: 54)


Dalam Kisah Rasul 7 kita melihat akhir kehidupan seorang Stephanus, yang mati akibat kemarahan Mahkamah Agama. Mereka tidak senang karena Stephanus menegur mereka atas kesalahan mereka. Memang teguran Stephanus keras, namun bandingkan dengan perbuatan mereka terhadap Stephanus. Dalam Kisah Rasul 6: 8-15, kita melihat orang-orang itu menghasut, memajukan saksi-saksi palsu, dan menangkap Stephanus. Stephanus mengalami kejahatan yang demikian keras, namun mengapa ia bisa tetap bahagia? Inilah satu kuncinya, bukan seberapa besarnya permasalahan yang membuat kita merasa sakit hati, namun bagaimana kita mengelola hati dalam menghadapi persoalan, itulah yang menjadi penentu kebahagiaan kita.

Mereka berteriak-teriak dan sambil menutup telinga serentak menyerbu Stephanus… Kemarahan akibat sakit hati, seringkali membuat kita menutup telinga terhadap kebenaran orang lain, perspektif dan sudut pandang orang lain. Kita hanya terpaku pada sudut pandang dan kebenaran pribadi. Akibatnya, kita cenderung tidak membuka diri untuk penyelesaian masalah. Yang kita cari adalah: pembalasan! Padahal, yang dibutuhkan adalah penyelesaian, closure.

Dan Stephanus menemukan closure dalam berserah kepada Tuhan. Ia tidak mencari pembalasan, bahkan sebaliknya ia berdoa bagi orang-orang yang membunuhnya. Walaupun dirinya mati sebagai seorang martir pada hari itu, tetapi jiwanya bersukacita bersama Tuhan, karena ia tidak dikuasai oleh kemarahan dan sakit hati. Mari kita belajar memproses sakit hati kita secara khusus, dengan membawanya dalam doa kepada Tuhan, dan ijinkan Dia menutup buku terhadap sakit hati yang menggerogoti hati dan pikiran kita. Tuhan memberkati, Amin.